Friday, December 19, 2014

10 things I love about my husband

It was sugested by an article I read somewhere, to write down a list of ten about everything we like about our partner. So,  we can refer to them at anytime. This is also to keep the spark of our love at anytime we read them. 

So, here is my list:

1. My husband proposed me on the third "date". He showed me how a real man should do in addressing his ongoing relationship. His action restored my faith again, that a man should be decisive and brave in taking action. 

2. If I can pick one personality that represent my husband as a whole is: HONEST. He is very honest in everything. I can guess easily what he's up to at the moment, because he always tell me everything (from important things like what he wants to do with his carrier, to unimportant things like what he thinks about his boss, haha), and he updates me if there is something change. He seems no problem at all when spotting me reading his phone messages, etc (--well, most of wives do I guess :p). He directly told me how he earns on the first dates (don't get me wrong, I didn't ask). That made me love his honesty in the first place, and since the first time. To me, privacy will be "shared privacy". The privacy will be our privacy, privacy is between us, against anybody outside us. I always appreciate an honest people more, since I can only be silent and can't confrontate when people tell a lie (and most of the time, I know that they do). So, honesty is a the basis for evey further step I take in life. 

3. He has same minded friends like me, and my friends can get along with him really well. This is important part since this fact confirms the fact that he is honest with friends, and most likely with everybody. 

4.He is very persistent with his principle and idealism, and doesn't mind if other people knew about that, even if he beccomes different. His persistency shown in a wide range aspect: from work ethic (not receiving money offered by vendor, colleague-private boundaries, etc), in practising religion (not "drinking' during an international function, etc), and of course in family (consistently support me in nurtuting the baby, cooking, etc).

5. He is outspoken but also sensitive at the same time. He is from East Java, so saying his feelings or wants has never been a problem for him (unlike me). He will directly say no without hesitation, at any occasion. However, he is sensitive for any gesture or behaviour. He will know that I am not happy with his behaviour by one gesture I showed to him, he will notice when I suddenly silent or when my mimic change, etc. :)

6. He is generous. Although I am not financially dependent to him, but somehow it feels so good to be with somebody generous :))

7. He appreciate my carrier. He likes to listen whatever I say about what happen in my office, and give insightful feedbacks, he support me when I have business trip to other cities or countries (by feeding my baby with frozen ASI and nurture her the whole night). He remembers most of the colleague's names I ever mentioned to him, even if the name is very far related. like: my friend in the office who attended the same university with him, but different major, and different directorate with me :)). And he also makes friends with my friends in the office. And most importantly, he is happy when I got the scholarship for my master degree. I do not earn that much,so the pride from my husband means everything to me.

8. He is a attentive. By nature, I am a typical woman who likes intense attention and constant presence of a man (husband). My husband feed those needs just perfectly. He never missed of knowing whatever I am doing from I wake up in the morning until I sleep at night. He say hi in the morning, know my activity for the day (although most of them are just working in the office :p), and what time I go to bed. 

9. He always knows that I am angry or not happy (although he might not really know why, haha). It feels so relief to know that my husband know that I am not happy with what he is doing, sometimes we just need the mesage sent, without solution.  I know that maybe he read it  somewhere on how to treat 'angry woman', but he really practices the suggestion from the book. He makes efforts to make me happy again, and I like it. Well, I am not angry often, my default as an Aries girl is happy and positive (hehe apologize my astrology refference, but that's the basic character of an Aries girl and it's true to me). But, of course everything is not always in our expectation.
 
10. At last, and the best thing I love from him is that, he said "I love you" to me very often. Hehehehe. He said it on at least daily basis, sometimes couple of hourly basis hehe...through a text or whatsapp, and occasionally he emailed me heart to heart expressing saying love too, and even in the middle of his sleep he will say I love you when open his eyes a little, hahaha. I know that love is action...even without being said, love can be crealy shown. But, what about action plus saying I love you?  Instantly melting.


I think that's all for now. My husband is not perfect, no body is perfect. It is love which can see perfection in imperfection. And this is how I promised myself to always love him. 

May Allah bless our love until forever and hereafter. Amiiin. 

A.U.S.T.R.A.L.I.A.

I am leaving 11 January 2015. Scheduled to stay there up to 31 December 2016.

Zero expectation. checked.

Nerve. CHECKED.

Thursday, November 20, 2014

"Kamu kayaknya sering melakukan hal gila ya Win?"

Suatu ketika, teman saya nyeletuk begitu pada saya ketika saya menceritakan bagaimana saya berusaha sekuat tenaga mengasuh anak saya semaksimal mungkin, saya lalu menyadari bahwa teman saya itu ada benarnya. Saya juga heran dari mana saya dapat energi dan keberanian utnuk melakukan kegilaan itu, for me, it just takes passion and love to do that.

Mungkin, berikut beberapa kegilaan saya yang pernah saya lakukan dalam rangka mengasuh anak saya:

1.  Saya pernah pergi ke Ha Noi Vietnam saat saya hamil sekitar 6 bulan. Konon di fase kehamilan ini kita paling sehat dan nyaman, dan rupanya itu benar. Alhamdilillah semuanya berjalan dengan baik. Sebulan sebelumnya, saya juga pergi ke Singapura bersama suami dengan perut yang sudah cukup besar.

2. Saya pernah (mencoba) membawa ASI perah ke dalam pesawat sejauh 10.000 ribuan kilometer dari Jakarta. Saat itu saya melakukan perjalanan ke Tajikistan, 3 jam dari Rusia. Kenapa saya tulis mencoba? Karena saya gagal. ASIP saya sudah mencair ketika transit di bandara Moscow, ice gel juga sudah beku, dan akhirnya saya buang di toilet bandara. Sekitar 15 botol.

3. Saya pernah melakukan perjalanan dari Jakarta jam 3 pagi bersama Aisha, naik taksi menuju Bandara Soetta  terbang ke Banjarmasin 2 jam, lanjut naik mobil ke Tanjung selama 5 jam, demi bisa berkumpul dengan ayahnya Aisha selama 3 hari. Total perjalanan 12 jam. Dan saya melakukan hal yang sama ketika kembali ke Jakarta. Saya sudah melakukannya dua kali dalam jeda waktu 6 minggu. Kenapa bukan suami saja yang pulang ke Jakarta? Sudah, kami sudah bertemu tiap 2 minggu, dan kebetulan saat itu saya pas ada kesempatan waktu luang. And love works in a both way :)

4. Saya pernah membawa anak saya dinas ke Semarang, hanya dengan saya, tanpa pengasuh, karena Bapaknya sedang di luar kota juga. Saya bawa anak saya terbang (saya bayar dengan uang pribadi tiketnya), saya titip ke adik saya yang tinggal di semarang selama 2 hari, dimana anak saya belum pernah ke sana, dan sangat jarang bertemu adim saya. Awalnya nangis dan saya sempat ragu, tapi alhamdulillah sukses sampa saya selesai dinas.

5. Saya izin ke atasan dalam sebuah rapat penting di Bogor, bahwa saya harus pulang karena tidak bisa meninggalkan anak saya, dan mengejar kereta termalam jam 21.30 dari Bogor. Paginya saya datang lagi ke Bogor untuk lanjut acara. Capek? Iya. Tapi semuanya hilang kalau sudah sampai rumah.

Sepertinya baru itu kegilaan saya. Selain kegilaan kegilaan kecil seperti pumping di Bandara, bawa2 ice gel dan ASIP berbotol2 tiap kali dinas keluar kota, yang akhirnya terbayar dengan bisa menyelesaikan asi selama 2 tahun :)

Dan mungkin, kegilaan saya selanjutnya, dan yang terbesar, adalah insya Allah saya akan membawa anak saya ikut mendampingi saya menjalani S2 di Melbourne nantinya. Dengan anak 3 tahun, harus sukses kuliahnya, di negeri orang, tanpa suami.

Dibalik itu semua, ada seorang suami yang sangat mendukung saya untuk melakukan segala sesuatu hingga batas yang saya bisa, yang mempercayai saya sehingga saya menjadi yakin untuk bisa melakukannya, menunjukkan cintanya pada saya sehingga saya kuat menjalaninya, dan mengagumi saya sehingga saya selalu senang menjalani apa yang saya lakukan.

Jadi ingat slogan nya urban mama : there is always a story in every parenting style.

And this is my style. Semoga Allag ridho.

Wednesday, September 3, 2014

Second Chance

I remember I was once praying to get a second chance, that time. And after all, in a different situation and background, this finally happens. And I did learn NOTHING after 8 years???

Making a second chance works is not as easy as I thought. The trauma of failure makes every single moment worse. I am told as a tough lady and a cheerful mother with energetic spirit. I know.

But I need to fight against my ego, my controlling desire, my anxiety. And now I know why fighting against ourselves is considered Jihad in Islam.

Do not behave irrationally. Be present. And calm down. 

"So let your heart hold fast, For this soon shall pass
Like the high tide takes the sand"  Fort Atlantic 

#ldr

Monday, August 18, 2014

Sekolah Alam

Trial sekolah baru..
Alhamdulillah..akhirnya perjalanan mencari sekolah untuk Aisha berakhir dengan dipertemukan Sekolah Alam di dekat rumah. Di Usia Aisha 2 tahun 2 bulan,  Aisha mulai masuk kelas Kelompok Bermain. Sebenarnya tujuan dari saya masukkan Aisha ke sekolah ini adalah dalam rangka training kalau nantinya Aisha masuk daycare di Melbourne. Pasalnya, Aisha pernah tidak betah ketika saya titipkan di daycare dulu selama 2 bulan. Trauma dengan kegagalan itu, saya berniat melatihnya untuk terbiasa dengan lingkungan komunal, yang bersama banyak teman, dan diarahkan orang lain (guru). Alhamdulillah sekarang sudah ada mbaknya, jadi opsi untuk mentraining Aisha adalah melalui sekolah.

Kami diberi kesempatan untuk trial gratis selama 3 hari sebelum memutuskan join, tapi saya hanya sempat mengambil sbeanyak 2 kali. Dalam trial itu, Aisha langsung terlihat suka dengan tempatnya karena ada kambing, kelinci, ikan, kolam renang, ayunan dsb, serta lahan yang sangat luas. Meskipun pertama kali datang, Aisha langsung bilang: "sekolahnya mana?". Hehee..beberapa kali trial di rockstar gym dan gymboree, rupanya telah membuat mindset Aisha bahwa sekolah adalah bangunan bagus dengan mainan warna warni :p.
Nggak ada takut atau geli menyentuh kambing...


Latihan pentas
 



Saat trial, di kelas, Aisha masih sering-sering menanyakan "mama mana?" dan akan berkahir dengan nangis kalau saya nggak segera muncul (saya sembunyi di balik tembok). Dengan kondisi begitu, sebenarnya saya tidak langsung bisa memutuskan akan melanjutkan rencana sekolah Aisha. Sempat berdiskusi lama juga dengan suami, apakah "keberanian dan kemandirian" anak bisa ditraining melalui sekolah? Tapi karena saya berniat supaya Aisha harus sukses menikmati hidup barunya di Melbourne, kami beranikan untuk ambil keputusan sekolah Aisha ini.

Alhamdulillah, ketika hari pertama sekolah di tahun ajaran baru, selang sekitar 2 minggu dari trial nya dulu, Aisha terlihat senang dan mulai sangat jarang menanyakan saya ketika di kelas (saya sempat menunggui juga). Perkembangan terkait "mau ditinggal" ini cukup positif, di hari ke 5, ketika diantar mbak nya, Aisha sudah langsung lari menuju ibu guru, dan baru dadah ketika diingatkan gurunya.

Doa bersama sebelum makan
Sekolah alam memang memiliki konsep yang cukup berbeda dengan sekolah konvensional. Aisha bersekolah selama 3 jam per hari, selama 3 kali seminggu. Satu jam pertama acara bebas, pengkondisian anak dengan sekolah, seperti memberi makan kambing, kelinci, main pasir, memberi makan ikan di kolam, ayunan outdoor, sholat dhuha bersama dan lain sebagainya. Selanjutnya baru kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya selama 2 jam. Mengingat kelas Aisha hanya beursia 2-3 tahun, hanya 3 anak dalam satu kelas, dengan dua guru :D (kalau ini juga karena sepinya peminat untuk kelas sekecil ini). Dengan komposisi begitu, pendampingan guru sangat intensif. Seperti misalnya ketika melihat kelinci, guru juga akan bertanya tentang warna kelinci, jumlah kaki kelinci, menirukan cara jalannya, makanan kelinci apa saja, dsb. Jadi inklusif substansinya. Tetapi ada satu hari dalam 3 hari sekolah itu, kelas Aisha digabung dengan kelas usia 3-4 tahun yang jumlah siswanya sekitar 7 orang. Di hari tersebut, mereka biasanya melakukan kegiatan yang "besar", seperti berenang di kolam renang, berbagi dengan kaum dhuafa di masjid (di-organize sekolah), atau games games outdoor yang butuh banyak orang.


Hasil dari sebulanan Aisha sekolah diantaranya adalah dari daftar lagu nya yang bertambah. Di antaranya lagi sayonara, yang entah kenapa versi dia menjadi:
"Ilalika..ilalika..sampai berjumpa lagi..insya Allah,
buat apa susah buat apa susah, susah itu ADA gunanya..yok"

Aku nggak tau versi bener dari gurunya seperti apa, tapi begini saja malah lucu :)).
Hal lain yang sering dia lakukan adalah menanyai mamanya dengan lagu"Good morning mama how are you?" dan harus kujawab dengan "Just fine", rupanya di sekolah ketika mulai kelas, dia melingkar ditanyain gurunya dengan lagu "good morning Aisha how are you?". Btw jangan bayangkan Aisha melafalkan bahasa inggris itu dengan fasih ya, aslinya ya gak sejelas itu dia ngomongnya gimana, itu hasil penterjemahan mamanya :p. Selain itu, Aisha juga jadi rajin berdoa sebelum makan karena di sekolah mereka berdoa bersama dengan menengadahkan tangan dan menutupnya dengan "amin" sambil mengusap muka. Alhasil, tiap mau melakukan apapun, kalau disuruh doa, doanya pasti doa sebelum makan, hahahaa.



Jadi rajin cuci tangan sendiri sejak sekolah. Alhasil, gampang basah bajunya!

Dalam laporannya, tertulis bahwa Aisha sama sekali tidak takut ketika memegang kelinci dan kambing, tidak ada geli sama sekali. (Padahal kalau sama semut dan laron aja dia takut langsung lari :p)
Bakti sosial sambil mengantuk-ngantuk :p
Hal lain yang menjadi ciri dari sekolah alam adalah perlunya peran serta orang tua dalam aktivitas sekolah anak. Setiap hari, orang tua diberikan buku laporan tentang aktivitas anak di sekolah, termasuk hal-hal yang terjadi di sekolah. Seperti kalau laporannya Aisha, tertulis bahwa Aisha menjawab ketika ditanya siapa nama ortunya, jawabannya "Papa Anas sama Mama Wiwien", dia juga bilang "Aita sayang sama mama sama papa" sama gurunya. Aisha memang sering sih bilang sayang gitu kalau di rumah, tapi ketika mendengar laporan dari orang lain, rasanya terharu..hehe. Trus ditulis juga kalau Aisha sempat tertidur di pangkuan guru pas perjalanan mau ke masjid untuk pembagian donasi, juga ketika di sekolah bajunya basah dan saya lupa bawain baju ganti (akhirnya ninggal 1 di loker sekolah). Jadi setiap pulang kantor, salah satu hal pertama yang saya tuju adalah buku laporan sekolah Aisha. Oh ya, setiap 2 minggu, ortu juga diberikan edaran terkait apa yang akan dilakukan anak di sekolah sehingga perlu disiapkan dari rumah. Misalnya, pada hari tertentu anak diminta bawa bekalnya buah dan sayuran (tema), atau pakai baju batik, bawa sandal jepit, bawa foto keluarga, dsb. Di beberapa wiken, sering juga diadakan family gathering memperingati lebaran, tahun ajaran baru, atau gathering aja :p Sayangnya saya beberapa kali skip karena tabrakan sama jadwal lain (yang lebih seru hehe).

Agak takut takut..
Rasanya sayang juga Aisha cuma bisa sekolah selama satu semester di sini. Namun demikian, semoga yang sebentar ini bisa menjadi lifetime experience yang indah dan bermanfaat bagi Aisha, amiiin...

Aisha's First Experience: Outbond!



Hari Sabtu kemarin, kami menghadiri acara family gathering kantor nya suami di Sentul City. Namanya sih "Family Gathering" tapi berhubung anak kami masih berusia 2 tahun, acaranya jadi "Bapaknya gatheirng, emaknya urusan Family". Alhasil, ketika suami mulai mengikuti kelas motivasi dan games team building, saya mendampingi Aisha mengikuti outbond yang khusus untuk anak-anak. Peserta anak-anak seharusnya bisa ditinggal ortunya, kebanyakan mereka berusia 4 tahun ke atas, tetapi karena Aisha masih kecil, jadi saya dampingi. Oh ya, sebenarnya anak-anak seusia Aisha banyak yang nggak ikutan acara outbond, entah emaknya malas nemenin dan "mendorong" supaya anaknya berani mencoba, atau karena alasan2 lain..yang jelas anak-anak 2 tahunan saat itu banyak yang cuma berlarian ke sana ke mari sembali emaknya menunggui sambil duduk berteduh (dan main hp, hehe).

Peserta terkecillll...
Tapi berhubung saya sudah berkomitmen dengan parenting style "Do my best and push my limit" dengan sebanyak mungkin memberikan pengalaman baru kepada Aisha, saya langsung mengkondisikan Aisha untuk ikut outbond. Saya bilang sama Aisha: "Ayo ikut teman-teman bermain di sana", sambil membawa Aisha ke kumpulan anak-anak yang mau ikut outbond. Aisha sempat bertanya tentang bermain apa? kenapa? dimana? dsb. Awalnya dia bilang juga "nggak mau", tapi ketika melihat teman-temannya dipasangi helm dan "sabuk", dia tertarik untuk pakai juga.
Berani!
Permainan pertama dari serangkaian outbond itu adalah berjalan di anatara tiang seperti ini. Anak-anak yang lain pastinya bisa berjalan sendiri, Aisha dibantuin instrukturnya.

Titian pertama..muka tegang!
Permainan kedua merangkak di tangga. Ini sulit banget buat anak sekecil Aisha. Instrukturnya sabar banget, Aisha mau coba juga...tetapi pas sampai di atas, dia mulai kembik2 raut takut :D . Awalnya instrukturnya masih mau melanjutkan dan bilang ke Aisha kalau nggak apa-apa, sebentar lagi sampai atas, tapi akhirnya Aisha nangis dan panggil saya :p. Karena kuanggap itu "limit" nya Aisha, akhirnya saya ambil Aisha. Dan beberapa permainan setelah itu lebih tinggi lagi, Aisha cuma lihat saja. Beberapa kali saya tanya: "Aisha berani", katanya mantap: "Enggak belani". Lalu saya mencoba menjelaskan padanya bahwa tidak apa-apa karena Aisha masih kecil. Dan setelah itu, tiap ditanya Aisha mau ikut main lagi? jawabannya "enggak mau, Aita masih kecil" :))

Lalu dia melirik playground di sebelah lokasi outbond, yang memang lebih cocok buat anak seusia Aisha. Dia bilang "udah mainnya, mau main plosotan aja". Saya sempat nego supaya main ke playground nya nanti saja karena panasnya Masya Allah, lokasi outbond kan dingin banyak pohon. Tapi ketika melihat permainan outbond nya ga berhenti2, Aisha mulai merengek nangis. Dan kubawalah ke playground, dia main sendiri, dan aku berteduh... Fyuhh.

Setelah cukup lama, Aisha mulai teriak2 kalau plosotannya panas. Dan akhirnya minta berhenti juga. Lalu kami kembali ke area outbond. Nah saat inilah Aisha lihat teman2nya lagi main titian papan yang tinggi itu, surprisingly dia bilang "Aita mau itu". Saya kaget dan ragu apa Aisha bisa, tapi saya cuma bilang "Berani ya?", dan dia jawab iya. Lalu serangkaian meniti papan dia ikuti, benar-benar berani! Mukanya takut-takut, tapi tidak ada tanda mau nangis atau panggil saya. Dia berkali2 bilang "Aduh gimana ini kok susaaahh" (kebiasaan dia suka gitu kalau melakukan hal2 susah), tapi ternyata selesai juga.

Awal-awal terasa berat...

Berikutnya makin barani...
Baru di tahap ke tiga, ketika meniti potongan pohon, dia akhirnya menyerah dan panggil saya. Lalu saya ambil, dan saya berikan selamat karena dia udah berani di 2 titian sebelumnya. Dia tampak sangat senang.

Titian ketiga paling serem, akhirnya menyerah di tengah..
Sesi terkahir dari outbond adalah flying fox!! Saya tidak menawari Aisha untuk ikutan karena tingginya Masya Allah. Gitu ada juga anak umur 3 tahunan yang berani! Aisha terlihat senang melihat teman-temannya meluncur, dia bilang "Mbak nya terbang? berani? Kalau Aita masih kecil?" begitu tiap liat satu per satu temannya meluncur :p. Saya aja baru nyobain flying fox pertama kali pas escape dari acara Prajab, saat udah umur 23 tahun! :p

Tangkap ikan, tapi Aisha saya minta supaya ikannya ga dibawa pulang, kasian masuk plastik..

Biasanya ditemani ayahnya naik kuda, baru kali ini mulai berani..

Overall, alhamdulillah acara hari sabtu kemarin lancar jaya. Aisha yang lagi susah makan juga akhirnya lahap makan sendiri sate ayam yang dihidangkan! Jam 1 siang, alarm ngantuk nya Aisha udah bunyi, udah mulai tunjuk ini itu random, alhasil setelah main tangkap ikan, bajunya basah semua, saya gantiin baju, masuk mushola ngadem AC, dan dia langsung tertidur pulas hampir 2 jam. Bapaknya kemana? lagi asyik main paint ball! *pengorbanan seorang ibu yeh.

Pesan sponsor dari cerita ini adalah: first experience is always worth to fight. Setelah bermain outbond itu, tiba-tiba Aisha bilang "Aita seneng main sama teman-teman..makasih mama.."

Dan panas-panas siang itu terbayar sudah.

In red!

Tuesday, June 24, 2014

Will I See Eiffel Differently?

Ketika lolos seleksi volunteer exchange AFS tahun 2008 dulu, pikiran pertama saya adalah "Yaah...kenapa bukan Perancis". Waktu itu saya mendapat jatah ke Austria, dari 2 pilihan lainnya Prancis dan Spanyol. Saat itu juga saya langsung sadar kalau saya telah kufur. Lalu buru-buru saya hapus pikiran saya itu dan melakukan segala daya dan upaya untuk mencintai "nasib" saya mendapatkan Austria. Singkat cerita, saya sukses mencintai Austria, dan belakangan saya tau kenapa Allah memilihkan Austria untuk saya, dan "menjauhkan" Prancis yang saya tulis sebagai pilihan pertama ketika melamar volunteer exchange tersebut.

Ketika di Austria, saya hanya mampu berkunjung ke beberapa negara tetangga yang bisa ditempuh dengan biaya murah. Banyak yang menyarankan supaya saya main sebentar ke Prancis. Tapi karena keterbatasan biaya dan juga jadwal yang padat dari AFS, saya tidak bisa melakukannya. Tahun 2008 saya masih kuliah, dan saya cukup tau diri untuk tidak meminta uang kepada orang tua saya untuk kesenangan saja. Sedangkan beasiswa AFS tidak memberikan stipend, tetapi berupa host family yang menjamin seluruh keperluan kita (yang sebenarnya tak ternilai harganya). Anehnya, waktu itu saya tidak kecewa, karena saya yakin, suatu saat saya pasti akan kembali lagi. Entah ada keyakinan dari mana, tapi saya merasa PASTI akan ke Prancis di masa yang akan datang.

Namun hingga tahun 2014 ini, saya belum juga kembali ke Eropa. Saya belum juga mengunjungi Prancis. Perjalanan hidup telah memberikan banyak kejutan bagi saya yang tidak berani saya bayangkan sebelumnya. Saya ingat, ketika duduk-duduk sendirian di taman dekat Volkstheater, di Wina tahun 2008 dulu, saya merasa sangat bahagia, merasa menjadi manusia yang sangat beruntung bisa berada di tempat indah tersebut, tetapi juga sedih dan kesepian karena nggak punya pacar, dan lebih tepatnya, mau ditinggal kawin hahaha. Kedengaran remeh ya, tapi di titik itulah, saya merasa mungkin seterusnya hidup saya akan menjadi petualang, menjadi orang yang bebas, bahkan mungkin seorang single fighter. Itulah kenapa saat itu saya berkeyakinan bahwa suatu saat saya akan berkeliling dunia (maklumlah obsesi mahasiswa HI yang tak ber-uang).

Tetapi ternyata jalan hidup berkata lain. Tahun 2009, saya diterima sebagai PNS. Sebelum saya menyadari sepenuhnya konsekuensi masuk ke dunia kerja, apalagi PNS, saya sudah langsung disadarkan pada fakta yang tidak mengenakkan: ke luar negeri tidak pernah seindah dulu lagi. Dulu, bagi saya, pergi ke luar negeri adalah perjalanan spiritual, perjalanan kebanggaan, dan perjalanan yang sangat membahagiakan karena kita sangat menginginkannya. Tapi sekarang di dunia kerja, perjalanan ke luar negeri tidak semudah dulu, entah itu kesempatan, atau juga tekanan. Dalam dunia kerja, ketika ke luar negeri, kita harus bekerja (*yaiyalah). Jadwal yang padat, dan biasanya hanya singkat-singkat saja, dari 3 sampai 7 hari. Kita harus bertemu orang-orang yang mungkin tidak benar-benar kita inginkan, orang-orang yang menurut saya, tidak bisa kita ajak ngopi bareng kalau suatu saat kita datang ke negara itu lagi dalam suasana liburan. Ya, orang-orang yang tidak bisa kita jadikan teman. Saya merasakan ini jauh berbeda dengan teman-teman yang saya dapatkan ketika dulu ikut exchange di Austria dan Singapura. I met them as strangers, I leave them as friends. Mungkin saya apes juga, selama beberapa kali ke luar negeri, yang saya hadiri adalah konferensi atau pertemuan yang cukup high level. Bukan acara training, yang akan mempertemukan saya dengan teman sebaya dalam waktu yang lebih lama (training biasanya satu minggu). Jadi impresi saya tentang perjalanan ke luar negeri butuh diperbaiki (*kode ngarep training haha). Walau begitu, saya sangat bersyukur atas kesempatan  itu, dan insya Allah saya tidak menyia-nyiakan pajak rakyat dengan berjalan-jalan tidak berguna ketika sedang dalam perjalanan keluar negeri---karena ga punya banyak waktu. 

Nah ketika belum juga berhasil kembali ke Eropa melalui tugas kantor, saya berfikir salah satu potensi terbesar saya bisa ke sana lagi adalah dengan sekolah S2. Pernah satu kali saya mencoba beasiswa, tetapi gagal dalam tahap wawancara karena saya kurang siap, waktu wawancara saya memang masih cuti melahirkan, baru 2 bulan setelah melahirkan. Saya sangat kecewa waktu itu, tapi akhirnya sudah menerima hal itu sebagai cara Allah untuk memilihkan saya jalan hidup yang lainnya. 

Masa-masa setelah itu, saya mulai disibukkan dengan tugas baru saya sebagai ibu. Menikah di usia 23 tahun, dan menjadi ibu di awal usia 25 tahun, merupakan hal yang lebih cepat dari bayangan saya. Saya yang dulu sempat bertanya-tanya apa bisa saya takluk pada seorang laki-laki dan dan mendedikasikan hidup saya untuknya, toh langsung lupa pikiran itu ketika pertama kali saya bertemu calon suami saya. Saya juga sempat takut untuk menjadi seorang ibu, tapi justru dengan ketakutan itu, saya sibuk setengah mati mempersiapkan diri untuk menjadi ibu yang ideal menurut saya. Dan ternyata, obsesi saya yang dulunya "hanya" ingin kembali lagi ke Eropa, perlahan bertambah menjadi obsesi terkait anak saya, mulai dari ASI 2 tahun, menjadikan anak suka  buku, mengajari doa dan hafalan, menjadikan anak mandiri (betah di playgroup, toilet training, dsb). Oh ya, belakangan baru kepikiran untuk obsesi membuat suami tetap stay in love hahaha. 

Anyway, setelah berjibaku intensif dengan anak selama 1,5tahun, akhirnya saya tergerak lagi  untuk kembali merajut usaha sekolah S2 lagi. Ada dua yang saya coba waktu itu, saya mencoba beasiswa kantor, dan satu lagi beasiswa dari pemerintah Australia. Dalam bayangan saya, beasiswa kantor adalah cara saya untuk kembali ke Eropa lagi. Untuk bersenang-senang lagi. Untuk menjemput nostalgia saya di masa lalu, bahwa saya bisa kembali lagi. Beasiswa dari Australia, saya coba karena waktu itu tawarannya datang lebih dulu, dan tidak ada salahnya mencoba. Meski saya hanya "coba-coba", tetapi saya menyiapkan aplikasi Australia dengan sepenuh hati. Saya konsultasi ke beberapa teman yang lolos, bahkan sampai mempelajari form aplikasi mereka. Ego persaingan saya kembali naik ketika mengikuti seleksi wawancara dan diikuti 900 orang yang terlihat serius dan berharap. Saya merasa tertantang mengikuti seleksi tersebut, karena penilaian dilakukan oleh orang luar, berbeda dengan beasiswa kantor saya yang diseleksi oleh kantor saya sendiri. Ajaibnya, proses aplikasi beasiswa Australia ini berlangsung sangat mudah dan dimudahkan, baik itu dalam tes tes nya , atau dari sisi izin/birokrasi kantor.

Tuhan memang tidak menyia-nyiakan hambaNya yang berusaha. Entah apa rencana Allah, rupanya Dia memilihkan Australia untuk saya. Karena sudah diterima beasiswa Asutralia, otomatis lamaran saya untuk beasiswa kantor dihentikan. Ada bagian dari diri saya yang merasa sedih. Memori saya tahun 2008 itu kembali datang, kapan saya kembali lagi ke Eropa? Mengharapkan perjalanan kantor pasti tidak bisa seindah kalau sekolah....dan S2 ini seolah kesempatan terakhir saya mewujudkan kembali ke Eropa.

Saya sempat duduk lama untuk mencerna apa yang saya terima ini. Beberapa hal baik tentang Australia melintas di pikiran saya. Toh saya akan bawa anak , dan suami tetap akan tinggal di Jakarta, sehingga Australia menjadi pilihan paling rasional untuk kondisi seperti ini. Australia masih memungkinkan dikunjungi suami tiap 3 bulan. Selain itu, allowance dari pemerintah Australia dan fasilitas daycare untuk anak saya juga yang paling masuk akal dibandingkan beasiswa lainnya. Tapi kemudian ketika saya harus membandingkan suasana Australia dan Eropa (well, Austria mungkin, toh aku baru mencicipi itu saja), aku langsung mewek sendiri kembali ingin ke Eropa. Di Australia bangunan eksotisnya nggak sebanyak di Eropa yang berbaris sepanjang jalan. Belum cuaca Eropa yang hangat kala summer, tapi tidak menyengat seperti di Australia. Dan mungkin salju yang pasti kutemui di tiap winter di depan jendela di Eropa. Ah....

Lalu suatu ketika, saya mengembalikan diri ini pada ingatan tahun 2008 itu. Ketika saya sangat menikmati berjalan bersama beberapa teman di lorong-lorong kota Wina yang hening, atau duduk di tram yang sepi, menunggu di halte yang penuh ketenangan, atau menikmati bunga-bunga di taman kecil Wina kala summer. Lebih jauh lagi, saya membayangkan melihat menara Eiffel berdiri di depanku. Saya duduk-duduk di bangku taman, dalam suasana summer yang hanya terasa hangat. Bersama anak saya yang mungkin hanya 50% dia paham dia sedang berada dimana. Meninggalkan suami yang mungkin 6 bulan tidak bertemu karena pertimbangan harga tiket Jakarta-Paris, belum juga beasiswaku yang harus bersaing dengan biaya daycare anak, atau gaji suami yang harus kutodong untuk menambah beasiswa saya...

Itukah yang ingin saya alami?

Apakah dengan kondisi seperti itu, saya masih akan melihat menara Eiffel sebahagia yang saya impikan tahun 2008 tadi? atau sama bahagianya dengan saya duduk-duduk di pelataran Melbourne University, dengan anak saya mendapat fasilitas childcare benefit dari pemerintah Asutralia, setelah saya bertemu suami saya bulan lalu?

Saya kembali teringat nasehat teman baik saya, bahwa "Well, you can't get it all". Itu nasehat yang sering saya dengar, tapi sering juga saya lupakan. Saya akan terus berprasangka baik kepada Allah, bahwa Dia telah memberikan yang terbaik untuk saya. Semoga, pada saatnya nanti, saya akan bisa merasakan seperti yang saya alami dengan Austria, mengapa Allah seperti benar-benar memilihkan Australia, bukan yang lain, untuk saya. Everything goes for some good reasons. That what's called by trust (iman).

Tentang mimpi saya tahun 2008 itu, biarlah menjadi salah satu mimpi yang akan membuat hidup ini lebih bersemangat. Bahwa mimpi akan terwujud di saat yang tepat, di saat yang benar-benar tepat. The journey to achieve those dream has not completed yet. Bismillah. 

Dan untuk sementara ini, dengan sepenuh hati dan fikiran, saya akan mengucapkan, "Australia, I am coming....".

Friday, June 13, 2014

Siapa melindungi siapa

Tadi malam, Aisha (2tahun 1 bulan) sedang mulai tertidur (setengah merem setengah melek). Karena posisinya di pinggir tempat tidur, saya bermaksud mengambil posisi terpinggir dekat Aisha. Dengan terkantuk-kantuk, Aisha melarang saya: "Mama kesanaan..biar endak jatuh"

"Lukanya udah nggak sakit, darahnya udah mati!"

Akhir-akhir ini, Aisha (2 tahun 1 bulan), ingin mengungkapkan hal baru tetapi dia belum tau kata-katanya, alhasil ketika lihat mata Miki Mouse kedip kedip, dia bilang: "Mama, mata Miki Mos kelap kelip!(keyap keyip)", 
atau ketika darah bekas luka di tangannya udah kering, dia bilang "Ini endak sakit, darahnya udah mati!".
Dan puncaknya ketika kuajak makan, dg teriak mantap dia menolak: "Endak mau makan, Aita ndak lapal...Aita masih sembuuuuuuh"
*didengar oleh mamanya yang langsung KENYANG!

Friday, May 16, 2014

"Hi..."

An empty road, and it is still long way to go..
When looking back, it was a short, beautifull path
I can only stare of what I have done, of what we have done,
And what it has became, or why it has became empty.
I wonder where all the flying spirit gone.

Now that I try to walk closer,
But you stand still.
Or I want to comfort better,
But you may wonder.
If I just let the gloomy stay,
I may sweep what still left, away.
It was "stuck in a moment and I can't get up".

It is a scary phase,
It was me who failed in this same point.
And losing the precious mine once upon a time.

Indeed,  it is a working in progress.
It is not supposed to be happy ending,
It is a life time efforts, a long life endurance,
A continuous presentation,
A sincere action, without being demanding on the same response.

I just...want to hear you call, in the middle of the lunch,

and say “Hi..”.
 
Copyright 2010 Wien Wien Solution. Powered by Blogger
Blogger Templates created by DeluxeTemplates.net
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase