Wednesday, November 30, 2011

4 Months Pregnant

Belum keliatan ya??
*yaelah motretnya aja dari depan!! *berantem sendiri

Monday, November 21, 2011

Panggilan untuk Orang Tua: Ayah bunda,Mama papa? atau....

*ini judul panjang amat yakk

Meskipun masih lama bagi kami untuk insya Allah dipanggil sebagai "orangtua", tapi karena terinspirasi tulisan serupa di The Urban Mama akhirnya kepikiran buat nulis ini deh sekarang.

Memasuki kehamilan usia 16 minggu, salah satu hal menyenangkan yang bisa dilakukan adalah browsing nama anak dan menentukan panggilan untuk orang tua, yang akan berpengaruh sepanjang hidup baik bagi anak nantinya dan juga bagi kami sebagai orangtua *well, orangtua yang masih muda ya, catat :p.

Sebenarnya sejak awal mas anas udah bilang kalau preferensi pertama, dia mau dipanggil Ayah, which is sedikit memberikan clue panggilan buatku yang sejak awal belum punya keinginan mau dipanggil apa. Jadi untuk membuat "serasi" dengan panggilan ayah, pilihan buatku tinggallah"ibu" atau "bunda", yang kemungkinan besar akan membuatku menjatuhkan pilihan untuk dipanggil "bunda" mengingat"ibu" sudah merupakan panggilan kami untuk ibu ku.

Tapiii, ternyata setelah difikir2, ada beberapa hal yang membuatku belum langsung sreg juga dg "bunda", yaitu:
1. Kayaknya bunda itu mengandung konotasi lemah lembut, tenang, kalem, dan segala sifat kelembutan seorang ibu lainnya, which is super good, tapiiii...apa aku pantas? :p kayaknya selama ini sikapku cenderung rock n roll, walaupun hati tetep pop melayu sih *halah. Tapi ya itu, kalau kata adikku sih "ya kata-kata kan doa mbak, jadi gpp dipanggil bunda, biar kalau kita mau marah jd ingat kalau seharusnya kita lembut". bener juga sih...
2. berdasar browsing sana sini, ternyata "bunda" menduduki peringkat tertinggi kesulitan bayi dalam menyebut.. haha. Jadi lebih gampang buat bayi nyebut ayah, atau mama papa, bahkan ibu. Kebanyakan bayi baru bisa mulai menyebut "bunda" dengan sempurna di usia 20 bulanan, sebelumnya mereka menyebut "buda"...dan bakan "buaahhh" #dohh

Untuk pilihan lain, seperti papa-mama, boleh juga sih..dan pastinya itu lebih gampang diucapkan bayi. tapi kayaknya ya belum sreg juga karena mas anas sejak awal pengin dipanggil ayah, dan kami sudah memanggil orang tua mas anas dengan "mama papa" *ya nggak papa juga sih sama :))

Nah diantara ketidakjelasan itu, ada satu hal yang kayaknya pasti: aku sendiri tidak akan memanggil suamiku dengan "ayah" or "papa" for the sake of membahasakan anak. Untuk membahasakan "Nak, tolong ambilkan koran di meja ayah" itu masih wajar ya, tapi misalnya untuk mengatakan "ayah, tolong bantuin bunda ya" hihi geliiii aku gak bisa melakukan. Jadi sepertinya kami tidak perlu latihan dari sekarang untuk belajar saling memanggil ayah bunda (atau apapun panggilan kami nantinya). Banyak sih alasanku, diantara yang paling kuat kenapa aku gak bisa memanggil suami dengan "ayah" adalah oh my God, he is not my father! selain itu, menurutku anak perlu melihat juga bagaimana ayah ibunya saling memanggil satu sama lain, dengan panggilan yang berbeda dari yang dilakukan anak. Kalau selama ini, mas anas memanggilku dengan "dek" atau "yang", dan sebaliknya, aku memanggilnya dengan "mas" atau "yang" juga. Insya Allah itu yang akan dipakai di depan anak-anak (amiin) nantinya.

Gitu dulu, kalau ada ide panggilan untuk orang tua, silakan menyumbang mumpung aku masih bingung :))

Dan tulisan ini dibuat dengan metode kekinian, artinya keputusan di masa depan nantinya tergantung dari berubah tidaknya pikiran, hehehe *nggak ngerti juga sih metode kekinian itu maksudnya kyk gitu atau bukan :p

Jatim Park, saat mudik 2011, bersama Andra, ponakan kami yang
memanggil orangtuanya dengan "Ayah" dan "Mama" :D

Monday, November 14, 2011

Kesungguhan Hati

Jadi kemarin aku dan mas anas pertama kalinya mengunjungi salah satu sahabat kecilku yang sejak 6 bulan terakhir tinggal di Jakarta timur, yang sampai sekarang membuatku sangat menyesal, kenapa tidak mengunjungi nya dari dulu, sejak pertama kali dia tiba di Jakarta ini...

Dia di Jakarta untuk mempersiapkan seleksi pekerjaan yang akan dia lamar pada sekitar awal tahun 2012 nanti (dengan pertimbangan berbagai hal, identitas dia akan sengaja disamarkan). Aku tau dia sangat menginginkan pekerjaan itu, entah karena minat ataupun dorongan kebutuhan keluarganya. Aku hanya nggak pernah menyangka dia bisa se "niat" itu menjalani persiapan melamar pekerjaanya, dengan hidup sendirian di ibukota, berlatih ini itu sepanjang hari, dengan tidak ada jaminan lamaran pekerjaanya akan diterima.

Sebelum berangkat ke kosnya, aku menelpon dia terlebih dulu, sekedar untuk memastikan dia tidak pergi karena perjalanan ke kos dia cukup jauh, sehingga sayang kalau sampai sana ternyata dia pergi. Dia mengangkat teleponku dan memberi arahan sangat jelas kemana aku harus pergi dan tempat mudah untuk bertemu dia, suaranya sangat excited dengan kedatangan kami. Dan benar saja, dia sudah menunggu di pinggir jalan dan langsung menemukan kami dengan mudah ketika kami lewat. Mukanya sangat senang bertemu dengan aku dan mas anas, dia menjabat tangan kami, menciumnya dengan menempelkan ke dahinya *well, bukan mencium yak namanya :p. Lantas kami berjalan kaki menuju kosan dia karena kos dia tidak bisa dijangkau kendaraan.

Belakangan aku tau bahwa dia telah menunggu kami di pinggir jalan itu hampir setengah jam lamanya (kami terjebak macet luar biasa ketika hampir tiba di tempatnya), dan belakangan aku juga tau bahwa dia baru tertidur ketika aku sebelum kami berangkat..katanya dia lantas mandi, sholat dan siap2 menjemput kami di pinggir jalan.

Ketika memasuki kamar kos nya, aku semakin mengerti kesungguhan nya dalam usahanya mempersiapkan diri melamar pekerjaan. Aku tidak menjumpai apapun di kamarnya selain kasur, sajadah, satu lemari kecil setinggi perut, galon air, dan beberapa peralatannya mempersiapkan melamar kerja nya nanti. Aku sangat kesulitan membayangkan dia hidup dengan peralatan sedemikian minimnya di jakarta, tanpa teman, tanpa saudara, selama hampir 6 bulan hingga saat ini. Tetangga kosan nya pun didominasi oleh supir angkot dan pelayan toko, yang cukup menggambarkan berapa harga kosan yang dia sewa. Meski di tengah kesederhanaan yang sedemikian hebatnya, kosannya nyaman dan bersih, beberapa tetangga kosan yang kami temui pun saling bertegur sapa dengan ramah. Ah, inilah kehidupan yang sesungguhnya...

Di saat aku dan mas anas beristirahat di dalam kosannya, kami baru sadar kalau dia menghilang...maka kutelpon lah dia karena aku khawatir dia repot2 membuatkan minum atau upaya lain untuk memuliakan tamu seperti orang jawa pada umumnya. Dan benar saja, tak berapa lama setelah kutelepon, dia datang dengan membawa satu plastik berisi 2 buah kue sobek ukuran besar dan 1 plastik biskuit yang cukup untuk bersepuluh, serta beberapa aqua gelas yang kalau dihitung hitung harganya bisa lebih dari sepuluh persen harga sewa kosannya selama sebulan. Dia datang sambil mengucap "Ya..begini ini tempat tinggalku mbak..." ucapnya dengan senyum lebar basa-basi.. Ah..kamu sudah tumbuh cepat sekali..

Dia lantas bercerita banyak hal, tentang apa yang sudah dia lakukan selama 6 bulan di jakarta ini, betapa senangnya dia atas kemajuan usaha yang telah dicapai jika dibanding ketika dia masih di Jogja, dan betapa dia tidak kangen lagi dengan semua yang dia tinggalkan di jogja, karena dia cuma ingin fokus lulus pada ujian lamaran pekerjaannya nanti. Aku cuma bisa tercekat mendengarnya, betapa banyak hal telah berubah dari dia yang sebelumnya merupakan anak manja dan "urakan", anak usia 18 tahun yang dulu pernah terperdaya hingar bingar masa muda di masa SMA. Tuhan telah banyak berbicara padanya lewat perubahan jalan hidupnya yang drastis dan tidak disangka-sangka. Entah apalagi perjalanan spiritual nya, tapi kini dia taat menjalankan sholat, bahkan doa setelah sholat dia jauuuh lebih lama dari yang aku dan mas anas lakukan. Ah Tuhan, dia minta apa?

Untuk mengakhiri pertemuan kami hari itu, aku mengajak dia untuk makan malam di suatu tempat yang kira-kira dia ingin kunjungi, yang tentu saja dia tidak bisa menyebut nama-nama tempat di manapun karena dia memang tidak tau. Hanya ada 2 tempat yang pernah dia kunjungi, dan itu jaraknya kira-kira 2 KM dari tempat dia tinggal. Akhirnya kami membawanya ke Botani Square, Bogor, yang membuatnya bertanya "Bogor itu Pegunungan ya?", dan saat itu kami juga mengetahui bahwa dia belum pernah denger tentang Kebun Raya Bogor, tentang Jalan Sudirman Jakarta Pusat, tentang Car Free Day, tentang Gambir, dan mungkin tentang-tentang yang lainnya.

Ah Tuhan, sebagai apa hamba ini yang selama ini tidak membantunya membuka mata?? Kemana saja hamba ini sejak 6 bulan yang lalu ketika tahu dia berada di Jakarta?? Mengapa tak sedikitpun kebahagiaan kubagi padanya selama hampir setengah tahun dia hidup tanpa siapa-siapa di Jakarta??

Dan sungguh sejak sepulang dari kosannya malam itu, aku masih berjuang melawan rasa bersalahku telah "menelantarkan" dia selama ini. Apalagi karena akulah satu-satunya orang yang dia kenal sangat baik di Jakarta ini. Dan sambil berjanji pada diriku sendiri untuk mengajaknya pergi setiap ada kesempatan, aku mohonkan doa sepenuh hati semoga Tuhan memudahkan hidupnya, mendengar keluh kesahnya, memeluk lelahnya, menenteramkan hatinya, dan mengabulkan segala doa nya.

Dia pantas menerima kasih sayangMu yang Agung, Tuhan.

*foto diambil dari http://mrsigit80.blogspot.com/2011/09/kesederhanaan.html
 
Copyright 2010 Wien Wien Solution. Powered by Blogger
Blogger Templates created by DeluxeTemplates.net
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase