Wednesday, October 19, 2011

Terlalu Sombong


Jadi ceritanya saya sedang diklat selama dua bulan di suatu kota di bilangan Jawa Barat *ceritanya nama dan tempat dirahasiakan. Berhubung lama diklat yang tidak bisa dibilang pendek, otomatis kami akan saling mengenal cukup dalam antara satu teman dengan yang lainnya. Termasuk salah satu temanku ini...

Dia seringkali menjadi penyelamat kami dengan bertanya kepada dosen di saat kami sekelas benar-benar tidak tau apa yang harus ditanyakan, entah karena sudah pernah mempelajari materi yang disampaikan, atau juga karena mengantuk dan tidak nyimak hehe. Tapi intinya, di saat kelas sedang sunyi senyap, dan dosen meminta kami untuk bertanya, hanya temanku itulah yang akhirnya mengacungkan jari dan bertanya.


Saat itulah kesombonganku mulai muncul, dengan memandang bahwa pertanyaan temanku itu "gitu doang", "nggak mutu" dan seringnya "nggak nyambung". Dan nggak cukup sampai di situ, setiap pendapat yang keluar dari temanku itu juga seringnya malah mengulang apa yang sudah disampaikan dosen, atau kalau enggak justru memberi pendapat dengan menanyakan apa yang baru saja disampaikan dosen, atau dihubung-hubungkan dengan hal-hal yang dia tau saja padahal sama sekali tidak ada hubungannya. Ok, sampai titik ini, aku udah cukup emosi, tapi yah sudah sebagai orang jawa yang baik (dan juga buruk), saya hanya memendam emosi itu tanpa berusaha meredamnya.


Sampai suatu ketika,ada kejadian yang mengakhiri zaman jahiliyah ku...


Di suatu sesi kelas, temanku itu (lagi-lagi) memberikan pertanyaan (atau entah komentar) kepada dosen dengan panjang lebar yang aku juga malas menyimak. Namun ketika dia nggak selesai-slesai bicara dan suaranya mulai terbata-bata, akhirnya aku tertarik mendengarkan apa yang dia sampaikan, sampai aku seperti mendengar petir geledek ketika dia bilang: "Oh, ini..maaf ya Pak karena sebatas ini saja yang saya tahu, yang lain itu di luar yang saya bisa".


Aku seperti digurui bahwa selama ini aku nggak pernah mencoba mengerti keadaan bahwa bisa jadi kemampuan temanku itu sebatas itu, bahwa kemampuannya untuk menangkap dan memahami ceramah dosen selama ini mungkin tidak semudah proses pembelajaranku dan teman-teman yang lain. Aku nggak pernah berusaha mengerti bahwa bisa jadi temenku perlu bantuan, atau kasarnya: temenku itu nggak sepintar kami! Tapi ternyata apa yang kulakukan selama ini? Menganggapnya aneh, dan aku justru nggak kepikiran untuk "memakai sepatu nya".


Dan sejak saat itu, aku jadi lebih berempati pada temanku itu. Dan ternyata banyak dari sikap-sikapnya yang ternyata telah hilang dari diriku.


Diantaranya, ketika kami ada tugas kelompok, dia menanyakan berulang-ulang kepada kami (aku dan teman2 di kelompok), tentang detail apa yang seharusnya dia lakukan,mengulang apa yang dia pahami untuk memastikan pemahamannya benar, dan meminta copy tentang apa yang sudah kami kerjakan sebagai contoh untuk pekerjaan dia. Dia seolah-olah takut melakukan kesalahan karena ini merupakan tugas kelompok. Dan ketika suatu ketika aku menjelaskan sesuatu padanya dengan kecepatan yang tidak kusadari (terlalu cepat), dia mengatakan "jangan cepat-cepat, saya mah masih pentium dua", di depan teman-temanku yang lain. Aku sungguh tertegun. Karena menyadari dengan sepenuh hati, betapa susahnya mengakui kelemahan diri di depan umum, yang sepertinya tak mampu kulakukan dengan mudah. Mendadak aku gelisah karena menyadari entah telah berapa lama dan seberapa dalam kesombongan menguasai diriku. Astaghfirullahal'adzim.


Dan,hari ini, ada yang membuatku kalah telak lagi. Dalam kerja kelompok penelitian, kami kesulitan untuk mengakomodasi masukan dari salah seorang dosen pembimbing, karena memang masukan itu berbeda dengan rumusan yang sudah kami putuskan. Sebenarnya masukan nya tidak signifikan, jadi akhirnya kami sekelompok memutuskan untuk tetap jalan dengan keputusan kami, dan mengabaikan masukan dosen tersebut. Dan di luar dugaan, temanku itu memberi ide untuk memasukkan usulan dosen itu di bagian kueosioner, dengan mengatakan: "masukin aja kali ya di kuesioner, efeknya ga begitu besar tapi biar masukan pak dosen didengarkan". Astaga, aku nggak menyangka temanku itu masih saja memikirkan bagaimana kami bisa mengabaikan masukan dosen dengan mudahnya. Ah, kemana saja telingaku selama ini??


Tuhan, hambamu ini telah berlaku sangat jahat pada makhluk-Mu yang tulus dan rendah hati.

*gambar diambil random dari google picture

3 comments:

pulau bunga said...

Wiwin...blog Wiwin mantab...cerita ini jg seru...:)

Anonymous said...

Nice as always

wiwien said...

@ajeng: makasih jenggg,,,senaang bs ketemu kamuu di sini,,ak brusan follow blog mu jeeng
@anonymous: thanks!!

Post a Comment

 
Copyright 2010 Wien Wien Solution. Powered by Blogger
Blogger Templates created by DeluxeTemplates.net
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase