Thursday, September 24, 2009

Obral sms minta maaf

Ketika lebaran kemarin, sms memohon maaf seperti diobral saja ya. saat itu, rasanya bisa mudah sekali untuk meminta maaf dan melupakan kesalahan orang lain.

semudah itu kah?
tunggu dulu.

hari pertama lebaran, aku mendapati bahwa salah seorang yang kukenal memutuskan untuk tidak mengunjungi satu rumah tertentu karena permusuhan sejak beberapa tahun lalu.

hari kedua lebaran, ada cerita tentang orang yang membalas sms mohon maaf yang hanya dikhususkan untuk dia, dengan satu kata : "Amin". mungkin dia hanya bisa berdoa semoga Tuhan yang memaafkan, sementara dia sendiri mungkin belum bisa memaafkan.

benar kata iklan djarum untuk idul fitri (yang tentang istri Pak Pos minta maaf) :
"Mari bersihkan sisa-sisa penyakit hati..."

rasanya memang lebih mudah ya untuk minta maaf dengan orang yang jelas tidak punya salah di masa lalu.

ah, andai saja sms mohon maaf itu benar2 diobral untuk orang2 yang memang perlu kita mintai maaf. jgn sampai terbawa kata Dao Ming Tse di Meteor Garden (ya ampun jadul banget :p) : kalau minta maaf berguna, buat apa ada polisi.

di hari ketiga lebaran, akhirnya aku menerima sms dari orang yang seharusnya aku meminta maaf lebih dulu, hanya saja tak berani kulakukan sejak lama. rasanya lega sekali saat itu.

Ah ya, ternyata minta maaf masih berguna ding.

Selamat Idul Fitri 1430 H :)

Thursday, September 10, 2009

Rame-Rame Nikah di 09/09/09

Oh ya..apa kabar kemarin tanggal 9, bulan 9, tahun 09? Aku baru sadar kalau kemarin tanggal yang spesial karena baru saja membaca artikel Kompas hari ini dengan judul di atas. Yah, maklumlah, buatku setiap hari itu spesial (haha basi, Win! :p)

Terlepas dari orang-orang yang banyak menikah, kemarin kulewati hariku dengan banyak hal rutin. Datang, duduk, cek email, menyelesaikan ini itu dan ketika agak siang banyak orang yang berdatangan untuk mencoba-coba menjemput impian. Ho ya, bukan aku sebenarnya yang dicari orang-orang itu. Tapi seorang bernama Ibu D, yang mengurus segala beasiswa ke luar negeri bagi mahasiswa S1-S3. Hanya saja, mejaku berada persis sebelum Ibu D, sehingga praktis orang-orang akan "menyapa" ku dengan "Maaf Mbak, saya mau tanya tentang beasiswa..." (Haha, mungkin lucu kali ya kl namaku beneran jadi "Miss Maaf Mbak, Saya Mau Tanya Tentang Beasiswa" :p).

Minggu ini, ada bukaan beasiswa ke Amerika Serikat dan ke Jepang (info klik di: sini). Frekuensi mahasiswa yg datang sedang banyak-banyaknya sekarang. Senang rasanya melihat wajah-wajah segar itu, terasa beda ketika kita melihat wajah seseorang yang punya harapan. Wajah yang bersinar karena melihat sesuatu yang baik sedang menunggunya. Uniknya, orang-orang itu pasti juga setengah nggak yakin apakah bisa lolos seleksi beasiswanya. tapi hanya karena punya harapan di masa depan, mereka sudah bisa mendatangkan semangat dan kekuatan untuk bolak-balik naik turun tangga melengkapi dokumen ini itu, dan tetap dengan wajah ringan-senang-segar, kalau kata Honda : The Power of Dream.

Senang rasanya berada di tempat yang "jualan" harapan. dan mereka telah mengingatkanku untuk selalu punya harapan,selalu.

(btw, judulnya kok gak nyambung sama isi blog nya sih :p)

Wednesday, September 9, 2009

Cerita tentang Angin dan Pohon yang Tinggi

Tadi malam, salah satu dari orang terdekatku memberitahu bahwa dia baru saja kehilangan tas punggung ketika Sholat Ashar di sebuah masjid di pinggir jalan.

Dengan pelan, lemas, dan muka yang datar (atau dia buat sedatar mungkin), dia cerita kalau di dalam tas punggungnya itu berisi jas, 2 buku perpustakaan kampus, dompet, buku tabungan, handphone, uang 1 juta yg akan dipakai untuk beli handphone baru, dan kameraku yang belum genap berusia setahun (Oh God!).

Dia lantas cepat2 bilang kalau akan mengganti kameraku dan harus segera membeli HP lagi dengan uang tabungan beli laptop yang sudah lebih dari setahun dia kumpulkan. Aku langsung bilang agar kameraku tidak usah diganti, atau setidaknya diganti tahun2 berikutnya saja ketika semuanya sudah membaik. Tapi justru dia pesan padaku untuk tidak memberitahukan pada siapa-siapa, termasuk pada orangtuanya dan orangtuaku. Dia takut orang-orang akan tahu ttg musibah ini kalau lebaran kami tanpa kamera dan HP, walaupun toh sebearnya aku tidak peduli dengan itu.

Setelah itu kami diam. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk menghiburnya. dia tidak menangis, dia tidak marah pada orang yang mengambil dan dia juga tidak menghiba. padahal sebagai orang yang dekat dengannya, aku tahu betul jumlah uang saku dari Ibu tiap bulan dan uang yang ia terima dari mengajar les sambil kuliah. dan aku tahu betul bagaimana dia berusaha menyisihkan semua itu, menahan berbagai pengeluaran, dan mengumpulkannya untuk membeli laptop.

mukanya hanya datar, dia berulangkali mengatakan kalau ini hanya peringatan, bahwa harta hanya titipan dan dia harus tabah, dia harus ikhlas. aku tahu dia sudah banyak mempelajari tentang tawakal, tentang sabar, tentang hakekat ujian.

Ya, dan bahkan dia kehilangan semua itu di saat dia menunaikan tugas yang dia yakini sebagai kekuatan kehidupan.

Aku lantas penasaran bagaimana dia bisa sampai di masjid pinggir jalan itu, yang aku tahu dia belum pernah punya urusan sama sekali di daerah sekitar itu. awalnya aku menduga dia kehabisan waktu shalat sehingga berhenti di masjid pinggir jalan untuk shalat. dia menjelaskan kronologi kejadian saat itu: " aku habis ambil uang karena janjian dengan teman untuk membeli HP. ternyata di tengah jalan, sudah terdengar adzan Ashar. Jadi aku berhenti saja di masjid terdekat. ternyata aku sudah makmum masbuk. karena buru2, aku lupa untuk meletakkan tas di depanku. akhirnya tas kuletakkan di belakangku. Seusai aku salam, masjid jadi gempar. semua orang membantu mencarikan. penduduk setempat menduga yang mengambil adalah orang yang biasa meminta2 di kawasan itu, atau pura2 meminta2. "

Aku malu mendengarnya. berapa kali aku mendengar adzan di musholla sebelahku, tak pernah aku berusaha untuk mengejarnya.

benar kata pepatah semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang meniupnya. namun aku hanya tak menyangka angin itu dapat meniup orang yang aku yakin sudah tidak perlu lagi diuji keteguhannya, orang yang selama ini meyakini bahwa persembahan untuk Tuhan itu tidak pernah sia-sia. angin itu memang telah berhasil mencuri semua yang dia perjuangkan selama ini, tapi ternyata masih belum berhasil mencuri kekuatan janji di dalam hati.

Aku merasakan betapa Tuhan sedang sangat menyayanginya, dia sedang diajarkan sesuatu yang sangat besar. Aku seperti melihat bahwa Tuhan sedang berbicara padanya.

di akhir kekeluanku mendengar ceritanya dan menyelami seberapa dalam keyakinanku sendiri, aku hanya bisa berkata padanya : "kamu sedang bertransaksi dengan Tuhan......"

Monday, September 7, 2009

Pagi Itu Mengajariku Sesuatu


Perlu waktu dua bulan bagiku untuk menyadari bahwa ada orang yang sama yang membersihkan lantai koridor di tempat aku beraktivitas sehari-hari.

Pagi itu aku datang terlambat jam 9.30 saat hari sudah mulai panas. Tak ada hal lain yang kufikirkan kecuali cara tercepat samapai di mejaku , sambil mengingat keras berharap tidak ada janjian yang kulewatkan sebelum aku tiba pagi ini. Mungkin kalau ada yang melihat wajahku saat itu, pasti akan terlihat 5 tahun lebih tua dari umurku yang 17 tahun, haha :p .

Anyway, sampai juga lah aku di lantai dua. mejaku hanya 10 detik dari tempatku berdiri saat itu. dan kulihatlah seorang Bapak yang kurus, mungkin 55 Tahun , yang tiba-tiba menghentikan aktivitasnya, menepi di pinggir koridor sambil menarik ember di sampingnya, dan memberiku jalan untuk lewat. Bapak itu seolah membaca wajahku dengan : "Oi..siapapun di depanku, aku lagi buru2, jangan diganggu..!". Dan dengan senyum lebar, sangat lebar, Bapak itu menganggukkan kepalanya sambil memegang alat pel rapat2 ke bajunya yang memakai baju dan celana seragam biru, bertuliskan "Petugas Kebersihan".

Aku lupa saat itu sempat berhenti atau tidak, tapi sebelum berlalu, aku sempat tersenyum sekilas. Sedetik kemudian, aku sudah masuk ruangan yang dingin.

Pagi itu aku menyadari ada yang salah dengan diriku.

Kadang rasanya aku menyalahkan tugas, rutinitas dan berurusan dengan orang-orang yang tidak bersahabat telah membuatku kehilangan percakapan kecil dalam diriku. bahkan hingga membuatku tersenyum hanya untuk membalas senyuman orang. aku malu melihat sikap Bapak tadi yang terasa sekali tidak meminta balasan. ah, sudah lama sekali aku belajar tentang ketulusan, ternyata pagi ini aku diingatkan lagi bahwa aku masih jauh dari nilai A. saat itu aku berjanji akan memulai percakapan kecil lagi dg diri ini, dengan sesuatu yg di dalam sini, dengan jiwa dan hati.

Siang hari menjelang Ashar, aku hendak pergi ke kamar kecil yang berada di luar ruangan kami. artinya, aku harus keluar melewati koridor lagi. saat itu aku melihat bapak itu (God! Bapaknya bekerja dua kali sehari ya di koridor ini??--kenapa aku baru sadar sekarang). Maka, kusempatkanlah berhenti dan menyapa.

Dengan keseharianku menggunakan bahasa jawa halus di rumah, aku sukses mengawali pembicaraan saat itu. Pernah nggak, kita lagi bicara sama orang, dan kita bisa merasakan bahwa lawan bicara kita senang bicara dengan kita... itulah yang kurasakan saat itu.

Si Bapak ternyata sudah bertahun-tahun menekuni pekerjaannya sekarang, namun baru beberapa bulan bekerja di koridor itu. Dua kali sehari beliau membersihkan seluruh koridor lantai 2. Aku sempat keceplosan bertanya dengan bahasa Indonesia, yang dijawabnya dengan gugup. percakapan kembali lancar ketika aku teringat untuk bicara jawa lagi. Beliau kemudian menceritakan tentang obat2 pel yang dia guanakn untuk lantai koridor ini. Wajahnya terlihat ringan. seolah dari cara bicara dan wajahnya terbaca: "pekerjaanku ini sangat menyenangkan, hidupku sangat ringan dan menenangkan..."


Ketika kuceritakan pada Ibu, Ibu menanggapi dengan hal lain yang tidak kufikirkan sebelumnya:
"Orang seperti itulah Wien yang seharusnya diberi. Orang yang kekurangan, tapi terus bekerja. Dia selalu mencukupkan dirinya, tidak merasa kekurangan dan tidak meminta."

Saat melihat matahari pagi dalam perjalananku hari berikutnya, aku menyadari betapa maha kasihnya Tuhan dalam hidupku, aku nya saja yang nggak pandai bersyukur.

ps: Judul ini pernah digunakan untuk posting di blog yang lain. Bahkan setelah dua tahun lebih, aku masih saja teringat judul ini. Well, keterbatasan ide saja ding :p
 
Copyright 2010 Wien Wien Solution. Powered by Blogger
Blogger Templates created by DeluxeTemplates.net
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase