Baru saja aku telpon ibu. Semalam, tivi-tivi menyiarkan siaran langsung mengenai letusan Merapi di tengah malam. Suasana jalanan di jogja terlihat sangat padat, orang2 mengenakan Mantol yang tertutup abu, dengan motor penuh abu, kaca mobil juga ber-abu. Ku-sms orang tua dan adik-adikku di Jogja, tidak ada yang membalas. Kutelp juga tidak diangkat. Hal itu justru membuatku sangat tenang, karena aku yakin mereka tengah tidur. All is well. Dan lagi-lagi aku kembali harus meyakini bahwa Media tidak cukup meng-cover both side, yaitu walaupun 20 KM dari puncak Merapi adalah wilayah bahaya dan harus dievakuasi, tapi Media tidak mengatakan bahwa masih ada 50 KM lebih di Jogja yang masih aman, yang tidak sebahaya itu. Dan benar saja,pagi tadi Ayah, Ibu dan adik2 beruntun membalas smsku, mereka bilang sudah di sekolah, masuk seperti biasa. All is well.
Dan sambil memakan sarapan pagiku yang telat beberapa menit lalu, aku telpon Ibu. Suaranya tidak begitu jelas karena ibu pakai masker di dalam rumah, dan ternyata seluruh sekolah diliburkan,ibuku sudah pulang, ayahku dan adik adikku sudah di rumah juga. Memoriku langsung berlari pada tahun 2006 saat gempa Jogja dimana kami serumah cuma bisa berdiam duduk di teras semalaman, walaupun mulut kami bercerita tentang apa saja, tapi hati kami tak berhenti gemetar mengingat-Nya, itu terlihat dari muka kami yang sangat pucat pasrah dan tidak fokus pada pembicaraan yang sebenarnya hanya untuk "nylamur" itu. Dalam telponnya tadi, ibuku mengatakan "agak seperti itu suasananya..", ketika aku bilang teringat tahun 2006.
Aku teringat, tahun 2006 itu banyak hal tidak mungkin,ternyata bisa terjadi. Aku nggak mau menampik fakta bahwa sebagian masyarakat Jogja masih menganggap "selagi ada Raja, Jogja akan baik-baik saja". Tapi toh, gempa itu juga merusak sebagian Kraton. Kami yang menganggap bahwa kami kuat, bisa melakukan apa saja, membantu korban Tsunami di Aceh yang jauh pun kami bisa, tapi tahun 2006 itu bahkan kami tidak bisa membantu tetangga kita sendiri, bukan karena tidak mampu lagi memberikan apa yg kita punya, tapi karena ada yang mengunci lutut kita,lemas, shock, kaget, tak menyangka kejadian ini bisa menimpa kami.
Perlahan, kami-atau mungkin tepatnya aku, mulai menerima fakta bahwa banyak hal di luar kuasa kita. Ah ya, tau maksudku kan? Betapa banyak kita telah belajar tentang percaya kepada kuasa Tuhan, tentang Iman, dan bahkan mengatakan bahwa bahwa kita Islam (yang berarti "submission", penyerahan diri) masih saja terkaget-kaget dengan tanda-tanda dari Yang Kita Imani. Atau lebih parahnya, ternyata justru tanda-tanda alam seperti itu yang membuat kita tertunduk lagi, patuh lagi, berserah lagi....
Tuhan,
Kiranya Engkau berkenan,
kuatkanlah keyakinan kami akan pertolonganMu,
akan kasih sayangMu lewat hembusan udara bercambur abu,
akan pengajaranMu tentang ingatan kami sebelum dilahirkan,
ketika Engkau bertanya "Apakah aku ini Tuhan-mu?"
dan kami menjawab "Benar, Engkau adalah Tuhan kami. Kami menjadi saksi"
Sehingga kami terus ingat janji kami, terus mengimani, dan berserah diri.
Namun Tuhan,
jika kiranya permohonan kami ini terlalu mewah bagi kami,
maka cukupkanlah kami dengan berucap laa haula wala quwwata illaa billaah.
8 comments:
ya beginilah nasib perantau mbak, diombang ambingkan 'salah berita dan ke-lebay-an' media..
betul..yg panik malah orang yg di luar jogja
kalo nonton berita-berita di tipi,
kyaknya kondisi jogja lagi cukup menegangkan..
semoga semua kerabat,sehabat,teman dekat,atau bahkan para perawat tetap kuwat yoo..
amiiin
amiin, betul..perawat,dokter, relawan juga harus didoakan supaya kuat
Merasakan dari sini win, juga kecemasan dan sekelebat ketakutan itu;
ternyata kita sedemikian kecilnya...
Tapi yang paling indah melihat gelaran ukhuwwah di mana-mana win, mungkin ini memang cara-Nya untuk mengingatkan kita tentang berbagi dan saling menyayangi :)
Iyaa nis, semoga bantuannya tepat sasaran...dan yang terpenting, pelajaran dr semua ini selalu terkenang :) keluarga sehat kan nis? rumah gmana?
amiin...
Alhamdulillah sehat win, rumah juga masih ada di zona aman teratas (22 km from the peak)
dag dig dug juga sih kalo pas gemuruhnya kenceng,
pelajaran besar buat kita ya win untuk lebih tanggap bencana, mengingat memang beginilah resikonya jadi penduduk Indonesia ;)
ah...22 ya nis..deket juga ya, but sure everything will be fine aja nis, amiin. rumahku 30 kilo. be safe nis!
Post a Comment