Wednesday, November 24, 2010

Menabung


Beberapa hari terakhir, aku sedang giat-giatnya belajar tentang menabung dan investasi (baca: belajar doang,hahaha). Singkat cerita, kusimpulkan bahwa menabung dan investasi memang memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, disertai niat yang teguh, dan tekad yang kuat *jiaah. Jadi tidak otomatis kalau penghasilan besar, pasti akan langsung bisa menabung. Tidak. Semua itu tergantung dari niat, tekad, dan rencana.

Dan benar saja..
Siang tadi aku pulang ke kantor dari acara meeting di luar, naik taksi, dengan argo yang harus kubayar 14 ribu sekian (anggaplah 15 ribu). Sesampai di kantor, kubayarlah supir taksi itu dengan uang 100 ribu yang merupakan satu-satunya uang di dompetku selain beberapa keping uang receh. Bisa ditebak, si supir taksi tidak ada kembalian, cuma ada 50 ribuan, dua lembar. Melihat taksi ku berhenti lama di depan loby, seorang bapak satpam yang kukenal menghampri kami, dan meminta taksi untuk maju karena ada mobil yang akan menurunkan penumpangnya di loby kantor juga. Maka kubuka lah kaca taksi, dan bapak itu menyapaku dengan "ada apa mbak?", maksudnya, kenapa aku nggak turun2 juga dari taksi dan malah dari tadi nanya2 ma si tukang taksi itu dan mengaduk2 isi tas ku. Spontan aku tanya dengan hopeless "Maaf Pak, bisa pecah uang nggak ya?" meskipun aku udah berfikir siapa lagi yang bisa kutanyain ya, karena maaf, aku nggak menduga pak satpam itu menyimpan uang pecahan sebanyak itu.

Tentu saja aku salah, bapak satpam itu langsung mengatakan "Oooh..punya mbak, sebentar..sebentar..." dan dia kemudian masuk ke pos satpam, sambil kuikuti di belakangnya. Dia mengeluarkan sesuatu dari lemari kecil di pos itu, dan akhirnya mengeluarkan lembaran2 uang seribuan, dua ribuan,lima ribuan, dan yang terbesar 10 ribuan, dan menjajarnya di meja. "Maaf mbak receh banget nggak papa ya?". Uang-uang itu sudah ditata rapi per-sepuluhribu (tau kan maksudnya? setiap 10 lembar uang seribu, dia membungkusnya dengan memberi lipatan sebagai penanda, juga setiap dua lembar uang 5ribu dilipat lagi, dst.). Dan singkat cerita, aku bayarlah transaksiku ke supir taksi dengan suksesnya.

Sepanjang jalan dari pos satpam itu menuju ruanganku, aku tak henti-hentinya salut dan malu pada pak satpam ku itu. Setelah melihat uang-uang itu, aku tau betul dr mana pak satpam itu mendapatkannnya. Sebagai orang yang menggunakan jasanya untuk menitipkan motorku dan meminta tolong mengeluarkan motor ketika terjepit motor lainnya di parkiran,aku tau uang-uang itu kemungkinan dari pemberian penghuni kantor yang membawa mobil dan motor. Pak satpam itu tentu saja nggak pernah meminta tips sama sekali, bahkan raut berharap di wajahnya pun tidak ada. Aku yakin kebanyakan pemakai kendaraan sepertiku memberinya bukan karena jasanya, tapi lebih karena kebaikannya, karena keramahnnya menyapa kami setiap pagi, ringan tangannya membantu kami, dan lebih karena kesyukuran kami apalagi ketikat tau bapak itu adalah satpam honorer saja, diantara puluhan satpam honorer dan negeri yang lainnya di kantor kami.

Ah, aku hanya ngak pernah menyangka, bapak itu mengumpulkan sedikit demi sedikit dari yang dia terima, sedemikian niatnya....

Betul, nabung yuk!!

PS: gambar uang di atas adalah uang recehan hasil penukaran

Friday, November 12, 2010

"Alhamdulillah, Terima Kasih Banyak..."

Sore itu aku pulang dari kantor seperti biasa menjelang maghrib, dan seperti biasa pula terhenti di pertigaan RSCM Salemba karena lampu merah plus banyaknya mobil dan motor yang pulang dari kantor. Saat itu hujan gerimis cukup membasahkan, dan kulihat berderet-deret penjual Bakpao dengan gerobaknya berjajar di pinggir jalan, berharap kendaraan yang terjebak macet lampu merah melarisi dagangan mereka.

Salah seorang penjual berhasil menyita perhatianku selama berhenti di lampu merah itu. Dia berdiri dekat dengan gerobaknya di trotoar jalan, merapat pada payung yang dia letakkan di atas gerobak, meski demikian, tentu saja kaos bagian belakangnya tetap basah kena percikan hujan yg terus menerus. Pandangannya lurus ke arah kami, ke arah kendaraan yang berjajar berhenti di jalan,mukanya terlihat tenang, tidak kemrungsung, tidak pula emosi (beda dengan kami yang mungkin wajahnya akan terlihat emosi/jengkel krn macet). Pandangannya terlihat sangat fokus kepada kami, memperhatikan kalau2 ada gerakan sedikit dari kami yang mengarah pada "Pak beli satu, Pak". Tapi tidak, tidak ada yang memanggilnya, yang mengacungkan jarinya/melambaikan tangan untuk memberi perintah dilayani beli bakpao. Dan melihat muka bapak itu, dia sangat tenang dan damai, seolah dia memaklumi kami yang tidak mau membeli bakpaonya, sangat menyadari bahwa mungkin kami tidak lapar, kami malas kehujanan menjulurkan tangan memanggil bakpao. Sama hal nya denganku, memakai mantol di atas motor, membuatku sangat kerepotan untuk mengambil dompet dari tas, merubah posisi mantol yg bisa membuat air akhirnya membasahiku, dan tentu saja, aku sedang tidak lapar atau apalagi kepingin Bakpao. Ah..tapi bapak itu hanya memandang kami dengan tenang, matanya tetap lurus memperhatikan kami dengan seksama, hatinya tenang walaupun nampak raut pengharapan dari wajahnya.

Dan beberapa detik sebelum lampu hijau, akhirnya kuputuskan untuk melambaikan tanganku, lalu mengacungkan satu telunjuk, sambil mulutku berintonasi jelas, tanpa bersuara (krn ga akan dengar) "rasa kacang hijau", kataku. Dan benar saja, Bapak itu langsungggggg bergerak seperti kaget, membuka panci tempat bakpao dikukus, cepat2 mengambil kertas pembungkus bakpao, dan BERLARI ke arahku, karena saat itu sudah lampu hijau. Dari jarak beberapa meter dia sudah melihat bahwa aku mengeluarkan uang 10 ribuan, maka dia menuju ke arahku sambil merogoh saku2 nya untuk memberi ku kembalian (aku udah tau kalau harga satu bakpao = 5 ribu).

Dan ketika akhirnya dia tiba di tempatku, menyerahkan bakpao, dan kuserahkan uang sepuluh ribuan dg mengatakan "Ambil kembaliannya, Pak", spontan dia langsung berucap "Alhamdulillah, terimakasih banyak mbak.." sambil memberikanku wajah yang sangaat cerah, yang cahayanya memasuki hatiku hingga membuatku sangaat bahagia, jauuh lebih bahagia dari terakhir kali aku menerima uang yang berpuluh2 kali lipat lebih banyak jumlahnya.

Dan basah setelah hujan sore itu, berhasil meneduhkan hatiku.

Ah.....

Friday, November 5, 2010

Telepon Ibu

Gambar Jalan Kaliurang Saat Hujan Pasir dan Abu, diambil dari Kompas

Jumat, 5 November 2010.

Baru saja aku telpon ibu. Semalam, tivi-tivi menyiarkan siaran langsung mengenai letusan Merapi di tengah malam. Suasana jalanan di jogja terlihat sangat padat, orang2 mengenakan Mantol yang tertutup abu, dengan motor penuh abu, kaca mobil juga ber-abu. Ku-sms orang tua dan adik-adikku di Jogja, tidak ada yang membalas. Kutelp juga tidak diangkat. Hal itu justru membuatku sangat tenang, karena aku yakin mereka tengah tidur. All is well. Dan lagi-lagi aku kembali harus meyakini bahwa Media tidak cukup meng-cover both side, yaitu walaupun 20 KM dari puncak Merapi adalah wilayah bahaya dan harus dievakuasi, tapi Media tidak mengatakan bahwa masih ada 50 KM lebih di Jogja yang masih aman, yang tidak sebahaya itu. Dan benar saja,pagi tadi Ayah, Ibu dan adik2 beruntun membalas smsku, mereka bilang sudah di sekolah, masuk seperti biasa. All is well.

Dan sambil memakan sarapan pagiku yang telat beberapa menit lalu, aku telpon Ibu. Suaranya tidak begitu jelas karena ibu pakai masker di dalam rumah, dan ternyata seluruh sekolah diliburkan,ibuku sudah pulang, ayahku dan adik adikku sudah di rumah juga. Memoriku langsung berlari pada tahun 2006 saat gempa Jogja dimana kami serumah cuma bisa berdiam duduk di teras semalaman, walaupun mulut kami bercerita tentang apa saja, tapi hati kami tak berhenti gemetar mengingat-Nya, itu terlihat dari muka kami yang sangat pucat pasrah dan tidak fokus pada pembicaraan yang sebenarnya hanya untuk "nylamur" itu. Dalam telponnya tadi, ibuku mengatakan "agak seperti itu suasananya..", ketika aku bilang teringat tahun 2006.

Aku teringat, tahun 2006 itu banyak hal tidak mungkin,ternyata bisa terjadi. Aku nggak mau menampik fakta bahwa sebagian masyarakat Jogja masih menganggap "selagi ada Raja, Jogja akan baik-baik saja". Tapi toh, gempa itu juga merusak sebagian Kraton. Kami yang menganggap bahwa kami kuat, bisa melakukan apa saja, membantu korban Tsunami di Aceh yang jauh pun kami bisa, tapi tahun 2006 itu bahkan kami tidak bisa membantu tetangga kita sendiri, bukan karena tidak mampu lagi memberikan apa yg kita punya, tapi karena ada yang mengunci lutut kita,lemas, shock, kaget, tak menyangka kejadian ini bisa menimpa kami.

Perlahan, kami-atau mungkin tepatnya aku, mulai menerima fakta bahwa banyak hal di luar kuasa kita. Ah ya, tau maksudku kan? Betapa banyak kita telah belajar tentang percaya kepada kuasa Tuhan, tentang Iman, dan bahkan mengatakan bahwa bahwa kita Islam (yang berarti "submission", penyerahan diri) masih saja terkaget-kaget dengan tanda-tanda dari Yang Kita Imani. Atau lebih parahnya, ternyata justru tanda-tanda alam seperti itu yang membuat kita tertunduk lagi, patuh lagi, berserah lagi....

Tuhan,
Kiranya Engkau berkenan,
kuatkanlah keyakinan kami akan pertolonganMu,
akan kasih sayangMu lewat hembusan udara bercambur abu,
akan pengajaranMu tentang ingatan kami sebelum dilahirkan,
ketika Engkau bertanya "Apakah aku ini Tuhan-mu?"
dan kami menjawab "Benar, Engkau adalah Tuhan kami. Kami menjadi saksi"
Sehingga kami terus ingat janji kami, terus mengimani, dan berserah diri.


Namun Tuhan,
jika kiranya permohonan kami ini terlalu mewah bagi kami,

maka cukupkanlah kami dengan berucap laa haula wala quwwata illaa billaah.
 
Copyright 2010 Wien Wien Solution. Powered by Blogger
Blogger Templates created by DeluxeTemplates.net
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase