Sore itu aku pulang kantor tepat beberapa detik menjelang adzan maghrib. Karena saat itu aku sedang nggak puasa, jadi pulang saat jam maghrib adalah pilihan tepat, tentu saja karena jalanan akan sangat sepi. Ada beberapa orang yang lalu lalang di halaman kantor, kebanyakan dari mereka adalah para OB (office boy) yang membawa bungkusan2 plastik dan beberapa minuman pembuka puasa dalam gelas plastik (kolak, bubur biji salak, dll). Pasti mereka sedang dimintai tolong untuk membelikan makanan buka puasa oleh para atasan di kantor yang masih harus lembur.
Tepat saat aku berada di gerbang halaman kantor, adzan maghrib mulai berkumandang. Dari sisi trotoar di luar pagar kantor, kulihat seorang bapak OB, bertubuh kecil dan usia hampir 50an, yang awalnya jalan kaki, dan buru2 berlari cukup kencang ketika mendengar suara adzan pertama kali. Digenggamnya erat kedua bungkusan plastik besar di tangannya sambil terus berlari memasuki gerbang, melewati halaman dan masuk gedung kantorku. Ahh, tanpa dia katakan, aku sangat paham apa yang ada di fikirannya: keinginan yg sangat kuat untuk mengejarkan makanan berbuka bagi siapapun yang saat itu menyuruhnya. Dan mungkin dari sejumlah makanan itu, tidak ada yang dia beli untuk dirinya sendiri, mungkin dia sudah membawanya dari rumah. Dan mungkin juga, siapapun yang menyuruh OB itu, hingga saat ini nggak pernah tau kalau ada yang pernah berlari-lari untuknya, demi dia bisa berbuka tepat waktu.
Betapa sore itu, aku diajarkan kesungguhan dalam menunaikan tugas, menuntaskan pekerjaan, dan tentu saja, pelajaran tentang ketulusan pengabdian.
Dalam perjalanan pulang sore itu, tak henti-hentinya kutanya pada diriku sendiri, sejauh apa kesungguhanku dalam memenuhi tugas dari yang menyuruhku. setulus apa pengabdianku pada yang telah mempercayaiku. Terkadang aku merasa, bahwa negeri yang telah menyuruhku, memberiku tugas, dan mempercayaiku ini, cuma bisa pasrah, tanpa marah, walau mungkin sangat gelisah, melihat orang2 kepercayaannya tidak begitu mencintainya.
Tuhan, lindungi jalanku.