Ketika lolos seleksi volunteer exchange AFS tahun 2008 dulu, pikiran pertama saya adalah
"Yaah...kenapa bukan Perancis". Waktu itu saya mendapat jatah ke Austria, dari 2 pilihan lainnya Prancis dan Spanyol. Saat itu juga saya langsung sadar kalau saya telah kufur. Lalu buru-buru saya hapus pikiran saya itu dan melakukan segala daya dan upaya untuk mencintai "nasib" saya mendapatkan Austria. Singkat cerita, saya sukses mencintai Austria, dan belakangan saya tau kenapa Allah memilihkan Austria untuk saya, dan "menjauhkan" Prancis yang saya tulis sebagai pilihan pertama ketika melamar volunteer exchange tersebut.
Ketika di Austria, saya hanya mampu berkunjung ke beberapa negara tetangga yang bisa ditempuh dengan biaya murah. Banyak yang menyarankan supaya saya main sebentar ke Prancis. Tapi karena keterbatasan biaya dan juga jadwal yang padat dari AFS, saya tidak bisa melakukannya. Tahun 2008 saya masih kuliah, dan saya cukup tau diri untuk tidak meminta uang kepada orang tua saya untuk kesenangan saja. Sedangkan beasiswa AFS tidak memberikan stipend, tetapi berupa host family yang menjamin seluruh keperluan kita (yang sebenarnya tak ternilai harganya). Anehnya, waktu itu saya tidak kecewa, karena saya yakin, suatu saat saya pasti akan kembali lagi. Entah ada keyakinan dari mana, tapi saya merasa PASTI akan ke Prancis di masa yang akan datang.
Namun hingga tahun 2014 ini, saya belum juga kembali ke Eropa. Saya belum juga mengunjungi Prancis. Perjalanan hidup telah memberikan banyak kejutan bagi saya yang tidak berani saya bayangkan sebelumnya. Saya ingat, ketika duduk-duduk sendirian di taman dekat Volkstheater, di Wina tahun 2008 dulu, saya merasa sangat bahagia, merasa menjadi manusia yang sangat beruntung bisa berada di tempat indah tersebut, tetapi juga sedih dan kesepian karena nggak punya pacar, dan lebih tepatnya, mau ditinggal kawin hahaha. Kedengaran remeh ya, tapi di titik itulah, saya merasa mungkin seterusnya hidup saya akan menjadi petualang, menjadi orang yang bebas, bahkan mungkin seorang single fighter. Itulah kenapa saat itu saya berkeyakinan bahwa suatu saat saya akan berkeliling dunia (maklumlah obsesi mahasiswa HI yang tak ber-uang).
Tetapi ternyata jalan hidup berkata lain. Tahun 2009, saya diterima sebagai PNS. Sebelum saya menyadari sepenuhnya konsekuensi masuk ke dunia kerja, apalagi PNS, saya sudah langsung disadarkan pada fakta yang tidak mengenakkan: ke luar negeri tidak pernah seindah dulu lagi. Dulu, bagi saya, pergi ke luar negeri adalah perjalanan spiritual, perjalanan kebanggaan, dan perjalanan yang sangat membahagiakan karena kita sangat menginginkannya. Tapi sekarang di dunia kerja, perjalanan ke luar negeri tidak semudah dulu, entah itu kesempatan, atau juga tekanan. Dalam dunia kerja, ketika ke luar negeri, kita harus bekerja (*yaiyalah). Jadwal yang padat, dan biasanya hanya singkat-singkat saja, dari 3 sampai 7 hari. Kita harus bertemu orang-orang yang mungkin tidak benar-benar kita inginkan, orang-orang yang menurut saya, tidak bisa kita ajak ngopi bareng kalau suatu saat kita datang ke negara itu lagi dalam suasana liburan. Ya, orang-orang yang tidak bisa kita jadikan teman. Saya merasakan ini jauh berbeda dengan teman-teman yang saya dapatkan ketika dulu ikut exchange di Austria dan Singapura. I met them as strangers, I leave them as friends. Mungkin saya apes juga, selama beberapa kali ke luar negeri, yang saya hadiri adalah konferensi atau pertemuan yang cukup high level. Bukan acara training, yang akan mempertemukan saya dengan teman sebaya dalam waktu yang lebih lama (training biasanya satu minggu). Jadi impresi saya tentang perjalanan ke luar negeri butuh diperbaiki (*kode ngarep training haha). Walau begitu, saya sangat bersyukur atas kesempatan itu, dan insya Allah saya tidak menyia-nyiakan pajak rakyat dengan berjalan-jalan tidak berguna ketika sedang dalam perjalanan keluar negeri---karena ga punya banyak waktu.
Nah ketika belum juga berhasil kembali ke Eropa melalui tugas kantor, saya berfikir salah satu potensi terbesar saya bisa ke sana lagi adalah dengan sekolah S2. Pernah satu kali saya mencoba beasiswa, tetapi gagal dalam tahap wawancara karena saya kurang siap, waktu wawancara saya memang masih cuti melahirkan, baru 2 bulan setelah melahirkan. Saya sangat kecewa waktu itu, tapi akhirnya sudah menerima hal itu sebagai cara Allah untuk memilihkan saya jalan hidup yang lainnya.
Masa-masa setelah itu, saya mulai disibukkan dengan tugas baru saya sebagai ibu. Menikah di usia 23 tahun, dan menjadi ibu di awal usia 25 tahun, merupakan hal yang lebih cepat dari bayangan saya. Saya yang dulu sempat bertanya-tanya apa bisa saya takluk pada seorang laki-laki dan dan mendedikasikan hidup saya untuknya, toh langsung lupa pikiran itu ketika pertama kali saya bertemu calon suami saya. Saya juga sempat takut untuk menjadi seorang ibu, tapi justru dengan ketakutan itu, saya sibuk setengah mati mempersiapkan diri untuk menjadi ibu yang ideal menurut saya. Dan ternyata, obsesi saya yang dulunya "hanya" ingin kembali lagi ke Eropa, perlahan bertambah menjadi obsesi terkait anak saya, mulai dari ASI 2 tahun, menjadikan anak suka buku, mengajari doa dan hafalan, menjadikan anak mandiri (betah di playgroup, toilet training, dsb). Oh ya, belakangan baru kepikiran untuk obsesi membuat suami tetap stay in love hahaha.
Anyway, setelah berjibaku intensif dengan anak selama 1,5tahun, akhirnya saya tergerak lagi untuk kembali merajut usaha sekolah S2 lagi. Ada dua yang saya coba waktu itu, saya mencoba beasiswa kantor, dan satu lagi beasiswa dari pemerintah Australia. Dalam bayangan saya, beasiswa kantor adalah cara saya untuk kembali ke Eropa lagi. Untuk bersenang-senang lagi. Untuk menjemput nostalgia saya di masa lalu, bahwa saya bisa kembali lagi. Beasiswa dari Australia, saya coba karena waktu itu tawarannya datang lebih dulu, dan tidak ada salahnya mencoba. Meski saya hanya "coba-coba", tetapi saya menyiapkan aplikasi Australia dengan sepenuh hati. Saya konsultasi ke beberapa teman yang lolos, bahkan sampai mempelajari form aplikasi mereka. Ego persaingan saya kembali naik ketika mengikuti seleksi wawancara dan diikuti 900 orang yang terlihat serius dan berharap. Saya merasa tertantang mengikuti seleksi tersebut, karena penilaian dilakukan oleh orang luar, berbeda dengan beasiswa kantor saya yang diseleksi oleh kantor saya sendiri. Ajaibnya, proses aplikasi beasiswa Australia ini berlangsung sangat mudah dan dimudahkan, baik itu dalam tes tes nya , atau dari sisi izin/birokrasi kantor.
Tuhan memang tidak menyia-nyiakan hambaNya yang berusaha. Entah apa rencana Allah, rupanya Dia memilihkan Australia untuk saya. Karena sudah diterima beasiswa Asutralia, otomatis lamaran saya untuk beasiswa kantor dihentikan. Ada bagian dari diri saya yang merasa sedih. Memori saya tahun 2008 itu kembali datang, kapan saya kembali lagi ke Eropa? Mengharapkan perjalanan kantor pasti tidak bisa seindah kalau sekolah....dan S2 ini seolah kesempatan terakhir saya mewujudkan kembali ke Eropa.
Saya sempat duduk lama untuk mencerna apa yang saya terima ini. Beberapa hal baik tentang Australia melintas di pikiran saya. Toh saya akan bawa anak , dan suami tetap akan tinggal di Jakarta, sehingga Australia menjadi pilihan paling rasional untuk kondisi seperti ini. Australia masih memungkinkan dikunjungi suami tiap 3 bulan. Selain itu, allowance dari pemerintah Australia dan fasilitas daycare untuk anak saya juga yang paling masuk akal dibandingkan beasiswa lainnya. Tapi kemudian ketika saya harus membandingkan suasana Australia dan Eropa (well, Austria mungkin, toh aku baru mencicipi itu saja), aku langsung mewek sendiri kembali ingin ke Eropa. Di Australia bangunan eksotisnya nggak sebanyak di Eropa yang berbaris sepanjang jalan. Belum cuaca Eropa yang hangat kala summer, tapi tidak menyengat seperti di Australia. Dan mungkin salju yang pasti kutemui di tiap winter di depan jendela di Eropa. Ah....
Lalu suatu ketika, saya mengembalikan diri ini pada ingatan tahun 2008 itu. Ketika saya sangat menikmati berjalan bersama beberapa teman di lorong-lorong kota Wina yang hening, atau duduk di tram yang sepi, menunggu di halte yang penuh ketenangan, atau menikmati bunga-bunga di taman kecil Wina kala summer. Lebih jauh lagi, saya membayangkan melihat menara Eiffel berdiri di depanku. Saya duduk-duduk di bangku taman, dalam suasana summer yang hanya terasa hangat. Bersama anak saya yang mungkin hanya 50% dia paham dia sedang berada dimana. Meninggalkan suami yang mungkin 6 bulan tidak bertemu karena pertimbangan harga tiket Jakarta-Paris, belum juga beasiswaku yang harus bersaing dengan biaya daycare anak, atau gaji suami yang harus kutodong untuk menambah beasiswa saya...
Itukah yang ingin saya alami?
Apakah dengan kondisi seperti itu, saya masih akan melihat menara Eiffel sebahagia yang saya impikan tahun 2008 tadi? atau sama bahagianya dengan saya duduk-duduk di pelataran Melbourne University, dengan anak saya mendapat fasilitas childcare benefit dari pemerintah Asutralia, setelah saya bertemu suami saya bulan lalu?
Saya kembali teringat nasehat teman baik saya, bahwa "Well, you can't get it all". Itu nasehat yang sering saya dengar, tapi sering juga saya lupakan. Saya akan terus berprasangka baik kepada Allah, bahwa Dia telah memberikan yang terbaik untuk saya. Semoga, pada saatnya nanti, saya akan bisa merasakan seperti yang saya alami dengan Austria, mengapa Allah seperti benar-benar memilihkan Australia, bukan yang lain, untuk saya. Everything goes for some good reasons. That what's called by trust (iman).
Tentang mimpi saya tahun 2008 itu, biarlah menjadi salah satu mimpi yang akan membuat hidup ini lebih bersemangat. Bahwa mimpi akan terwujud di saat yang tepat, di saat yang benar-benar tepat. The journey to achieve those dream has not completed yet. Bismillah.
Dan untuk sementara ini, dengan sepenuh hati dan fikiran, saya akan mengucapkan, "Australia, I am coming....".